Ritual pemakaman di Indonesia rupanya tak kalah unik dengan berbagai tradisi ziarah yang sempat dibahas beberapa waktu lalu. Biasanya, ritual pemakaman ini hanya dilakukan di daerah-daerah tertentu yang masih memegang prinsip budaya dan adat istiadat yang kuat. Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa ritual mulai ditinggalkan karena pengaruh agama dan lamanya proses pelaksanaan. Untuk itu, mari mengenal ritual-ritual pemakaman unik di Indonesia ini lebih jauh!
Dalam adat suku Batak, ada dua tradisi pemakaman bagi orang tua yang telah meninggal dunia, yaitu Saur Matua dan Sari Matua. Perbedaannya, bila orang tua yang meninggal dunia telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu dari anaknya, maka tradisi yang dilakukan adalah Saur Matua. Sedangkan, bila orang tua yang meninggal dunia belum menikahkan semua anaknya, maka tradisi Sari Matua diadakan. Prosesi Saur Matua biasanya lebih lama dibanding Sari Matua karena perlu menyembelih seekor kerbau dan membagikan daging kerbau tersebut kepada pihak-pihak tertentu.
Di Jawa Tengah, tradisi Brobosan dilakukan kepada orang yang meninggal dunia dalam keadaan telah menikah sebagai bentuk penghormatan terakhir dari sanak keluarganya. Tradisi ini dilakukan di depan rumah duka, dengan cara pengangkatan keranda setinggi-tingginya oleh empat orang sebelum jenazah diberangkatkan ke kuburan. Selanjutnya, anak cucu yang ditinggalkan harus berjalan di bawahnya sebanyak tujuh kali.
Lantas, apa makna tradisi Brobosan Jawa Tengah ini? Ternyata dengan melakukan tradisi Brobosan, diharapkan dapat membawa keselamatan dan kebahagiaan bagi anggota keluarga.
Tradisi Ngaben tentu sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang. Upacara ini dilakukan umat Hindu Bali dengan melakukan proses kremasi dan bertujuan untuk melepaskan dan menyucikan roh orang-orang yang telah meninggal dunia, sehingga terbebas dari ikatan duniawi dan dapat menyatu dengan Tuhan. Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan agar kerabat dapat merelakan kepergian anggota keluarga yang telah meninggal.
Dalam pelaksanaannya, upacara Ngaben akan dilengkapi dengan hiasan dan iring-iringan. Selain itu, benda seperti patung dan persembahan lainnya juga ikut dibakar dalam upacara ini.
Selain upacara Ngaben, di Desa Trunyan Bali juga terdapat tradisi pemakaman yang unik di mana jenazah tidak dikubur, tetapi ditutup dengan anyaman bambu berbentuk prisma (ancak saji). Lalu, jenazah dibiarkan tergeletak di bawah pohon menyan dengan lubang berukuran 10-20 cm, agar jasad tidak bergeser. Pohon menyan yang cukup besar dipercaya masyarakat sekitar dapat menghilangkan aroma tidak sedap yang muncul dari pembusukan jenazah.
Marapu berasal dari kata “Ma” yang berarti “yang” dan “Rappu” yang berarti “dihormati, disembah, dan didewakan”. Jadi, tradisi Marapu memiliki makna untuk memberikan penghormatan. Dalam tradisi ini, jenazah dimakamkan dalam posisi seperti janin dalam rahim. Lalu, dikubur dalam kuburan berupa batu yang diberi lubang dan ditutup dengan batu lagi. Selain itu, dalam proses pemakaman ini juga perlu dilakukan penyembelihan hewan ternak.
Merupakan upacara penguburan yang dilakukan masyarakat Dayak Ngaju dengan tujuan mengantar roh nenek moyang menuju Lewu Tatau. Tradisi yang dilaksanakan dalam waktu tiga hari sampai satu bulan ini, dipercaya dapat memberi ketenangan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan dan menjauhkan mereka dari penyakit. Tradisi ini dilakukan dengan mengumpulkan tulang belulang jenazah dan memisahkan daging dari tulang-tulang tersebut, serta menyiapkan hewan kurban untuk ditombak.
Saat ada anggota keluarga yang meninggal, maka pihak keluarga di Toraja perlu mengadakan upacara Rambu Solo, yaitu upacara pemakaman yang dilakukan sebagai bentuk bakti anak untuk memuliakan leluhurnya. Upacara pemakaman Rambu Solo dilakukan saat matahari mulai terbenam ke barat dengan melakukan kurban berupa kerbau atau babi. Masyarakat setempat percaya bahwa semakin banyak hewan yang dikurbankan, maka semakin tinggi derajat orang yang meninggal saat berada di nirwana.
Selanjutnya, jenazah akan diantarkan ke lakkian atau sebuah kompleks pemakaman yang terletak di dinding tebing, seperti Batu Lemo. Masyarakat suku Toraja percaya bahwa semakin tinggi makam, maka ruh orang tersebut akan semakin mendekati Tuhan. Karena itulah, pemakaman di Toraja dibangun di atas tebing batu.
Dalam prosesnya, batu dilubangi lalu dipahat, dengan satu lubang batu biasanya untuk jenazah yang berasal dari satu keluarga. Lubang lalu ditutup kayu, dan di depannya diletakkan sebuah patung pahat yang disebut dengan Tau-Tau, sebagai simbol untuk orang yang meninggal. Tau-Tau tersebut kemudian akan diletakkan bersama dengan Tau-Tau anggota keluarga lainnya.
Selain Rambu Solo yang diperuntukkan bagi orang tua, masyarakat Toraja juga memiliki tradisi Passiliran untuk bayi yang meninggal dunia. Di mana jenazah bayi yang berusia kurang dari enam bulan dan belum memiliki gigi, dimasukkan dalam lubang pohon tarra berukuran besar dengan posisi meringkuk, tanpa pembungkus apa pun. Pohon tarra dilubangi sesuai arah rumah bayi, lalu ditutup dengan ijuk. Peletakkan jenazah bayi pada pohon tarra pun didasari pada sistem kasta, sehingga semakin tinggi kasta, maka semakin tinggi pula jenazah bayi tersebut akan diletakkan.
Pohon tarra dipilih karena memiliki banyak getah yang dianggap sebagai air susu ibu, sedangkan lubang pohon diartikan sebagai rahim ibu. Hal ini dilakukan dengan kepercayaan masyarakat setempat, bahwa bayi yang telah meninggal dunia dapat terlahir kembali dalam rahim ibu yang sama.
Waruga berupa kuburan dalam bentuk kotak batu berongga di mana kata “waru” berarti “rumah” dan “ruga” yang berarti “badan/tubuh”, sehingga secara harfiah, waruga merupakan rumah tempat tubuh yang akan kembali ke surga.
Jenazah yang dimasukkan dalam waruga harus berada dalam posisi meringkuk, yaitu mulut mencium lutut, dan tumit bersentuhan dengan pantat, sebagaimana posisi bayi dalam rahim. Posisi ini mengandung arti bahwa manusia mengawali dan mengakhiri hidupnya dengan posisi yang sama. Waruga lalu ditutup dengan penutup berbentuk segitiga.
Suku Dani di Pegunungan Jayawijaya melakukan proses mumifikasi untuk jenazah kepala suku atau panglima perang, di mana jenazah diawetkan dengan menghilangkan kelembapan tubuh. Mumi mulanya akan dikeringkan di bawah sinar matahari, lalu diolesi zat tertentu dan diletakkan dengan posisi duduk saat proses pengasapan. Lama-kelamaan, mumi akan berubah warna menjadi hitam setelah beberapa tahun. Dalam prosesnya, setiap lima tahun sekali, masyarakat suku Dani akan melakukan pembalseman untuk merawat kondisi tubuh mumi yang ditandai dengan upacara pemasangan tali noken. Jenazah yang telah berhasil dimumifikasi dapat disimpan di rumah dan dikeluarkan saat acara-acara tertentu.
Berupa tradisi memotong ruas jari wanita atau lelaki tertua bila ada anggota keluarga yang meninggal dunia sebagai simbol rasa sakit, kedukaan, dan kesetiaan. Tradisi ini dilakukan oleh suku Dani secara spontan dengan benda tajam maupun digigit hingga putus. Setelah pemotongan jari selesai, suku Dani akan mandi lumpur dan mengelilingi jenazah sebelum dikremasi sambil menangis.
Ada beragam suku, agama, tradisi dan budaya pemakaman di Indonesia. Namun, beberapa tradisi tersebut ada yang sudah mulai ditinggalkan, khususnya di kota-kota besar. Umumnya, masyarakat Indonesia melakukan proses kremasi atau penguburan dengan mengikuti ajaran agama masing-masing. Sayangnya, tidak semua tempat pemakaman dapat melakukan kremasi dan memiliki rumah abu.
Di San Diego Hills, Anda bisa melakukan upacara pemakaman menurut agama dan kepercayaan masing-masing, baik yang telah dikremasi maupun pemakaman jenazah. San Diego Hills memiliki berbagai tipe lahan makam yang telah disesuaikan dengan ketentuan agama dan kepercayaan di Indonesia secara umum. Anda pun dapat melakukan perayaan atau peringatan tahunan tertentu di sini, seperti Ceng Beng dan Misa Arwah. Untuk informasi selengkapnya, hubungi Helly, Sales Manager San Diego Hills melalui tombol WhatsApp!
Sumber: